Seiring perkembangan jaman, jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan akan tempat tinggal dan tempat beraktivitas untuk pertanian, peternakan, industri, maupun pertambangan akan semakin bertambah. Salah satu solusi untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah dengan pembukaan hutan. Pembukaan hutan yang terjadi
terutama untuk areal perkebunan mengakibatkan permasalahan lingkungan. Dengan berkurangnya kapasitas hutan di lingkungan tentunya daya dukung alam akan berkurang dengan kata lain pencemaran lingkungan dapat terjadi. Hutan merupakan salah satu komponen penting untuk lingkungan.
Komoditas kelapa sawit (Elaeisguineensis) masuk ke Indonesia sekitar tahun 1848 oleh orang Belanda yang kemudian menanamnya di Kebun Raya Bogor. Tanaman yang berasal dari Afrika Selatan ini diekstraksi minyaknya dari tandan buah kelapa sawit yang berguna sebagai minyak untuk memasak, bahan baku produk sabun, margarin dan berbagai produk lainnya.
Saat ini luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 3 juta ha, luasan terluas dibandingkan perkebunan karet. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sumatera, tetapi ekspansinya maju pesat di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat. Upaya memperluas perkebunan sawit diarahkan di Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua.Pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia sungguh fenomenal, dengan produksi yang bertumbuh 36 kali lipat sejak pertengahan tahun 1960an. Industri ini didominasi oleh tiga kelompok produsen: perusahaan milik negara, perkebunan rakyat, dan perkebunan swasta skala besar.Pada akhir tahun 1960-an, pemerintahan Soeharto dengan bantuan Bank Dunia melakukan investasi di Badan Usaha Milik Negara, dan areal
Bagaimana pengaruh Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Ekosistem Hutan?
Saat ini luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 3 juta ha, luasan terluas dibandingkan perkebunan karet. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sumatera, tetapi ekspansinya maju pesat di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat. Upaya memperluas perkebunan sawit diarahkan di Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua.
Perusahaan kehutanan milik negara di Indonesia juga makin banyak terlibat dalam bisnis perkebunan .Pada tahun 1998 Departemen Kehutanan secara resmi mengijinkan Kelompok Usahainhutani I-V mengubah 30 persen luas kawasan HPH-nya menjadi perkebunan, termasuk kelapa sawit. Alasan utamanya adalah pohon tanaman perkebunan tidak seperti kayu merupakan investasi jangka pendek dan dapat diharapkan meningkatkan arus uang tunai.
Biaya produksi yang cukup murah dalam menanam sawit dan berproduksi hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan tanaman perkebunan lainnya menjadi alasan mengapa sawit dipilih untuk dikembangkan. Saat ini Indonesia tercatat sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia menggeser Malaysia
Hutan merupakan salah satu komponen penting untuk lingkungan. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu di Indonesia, pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Pembukaan hutan , apalagi dengan cara pembakaran, dalam skala besar merupakan salah satu sebab degradasi hutan dan terbukti menimbulkan kerusakan dan kerugian baik pada aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial, dan dapat dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi ekosistem kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati, dan juga bagi kesehatan manusia.
Kerusakan hutan akibat pembukaan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1oC akan lebih panas menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat terjadi.
Berbagai pencemaran udara yang ditimbulkan akibat pembukaan hutan dengan cara membakar hutan, misalnya : debu dengan ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain yang merupakan partikulat pencemar udara, dan apabila senyawa-senyawa tersebut bereaksi dengan air (H2O), maka akan menjadi sumber pencemar tanah dan air.
Pembukaan hutan dengan cara menebang, berkontribusi terhadap deforestasi dan dengan ekstensi pemanasan global, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Dampak pembukaan hutan dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka. Kemampuan tegakan (pohon) pada saat masih hidup dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya tegakan yang tersisa karena adanya penebangan liar. Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan telah berubah peruntukanya yang berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga kelestariannya menjadi tidak berfungsi lagi.
Keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari investasi perkebunan sawit tidak setimpal jika dibandingkan dengan kerugianyang diakibatkannya. selain menggerus luasan hutan alam yang selama ini menjadi penyangga ekosistim alam dan iklim secara global, perkebunan sawit juga mengancam katahanan pangan bangsa ini. ditengah upaya keras bangsa ini untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, sejumlah areal pertanian tanaman pangan mengalami kerusakan serius akibat dari kehancuran ekosistim hutan, bahkan sejumlah areal produksi tanaman pangan dikonversi menjadi areal perkebunan sawit.
Selain kerusakan lingkungan, investasi perkebunan kelapa sawit juga mengancam keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya . Secara umum diskriminasi terhadap masyarakat adat sangat jamak terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan hutan di Indonesia. Seringkali hutan lindung, hutan konservasi dan kawasan tambang ditetapkan oleh pemerintah sendiri tanpa melibatkan komunitas masyarakat adat. Padahal, masyarakat adat telah menempati, memanfaatkan, dan bergantung pada hutan serta sumber daya alam tersebut sejak dahulu kala.
Komoditas kelapa sawit (Elaeisguineensis) masuk ke Indonesia sekitar tahun 1848 oleh orang Belanda yang kemudian menanamnya di Kebun Raya Bogor. Tanaman yang berasal dari Afrika Selatan ini diekstraksi minyaknya dari tandan buah kelapa sawit yang berguna sebagai minyak untuk memasak, bahan baku produk sabun, margarin dan berbagai produk lainnya.
Saat ini luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 3 juta ha, luasan terluas dibandingkan perkebunan karet. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sumatera, tetapi ekspansinya maju pesat di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat. Upaya memperluas perkebunan sawit diarahkan di Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua.Pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia sungguh fenomenal, dengan produksi yang bertumbuh 36 kali lipat sejak pertengahan tahun 1960an. Industri ini didominasi oleh tiga kelompok produsen: perusahaan milik negara, perkebunan rakyat, dan perkebunan swasta skala besar.Pada akhir tahun 1960-an, pemerintahan Soeharto dengan bantuan Bank Dunia melakukan investasi di Badan Usaha Milik Negara, dan areal
Bagaimana pengaruh Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Ekosistem Hutan?
Saat ini luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 3 juta ha, luasan terluas dibandingkan perkebunan karet. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sumatera, tetapi ekspansinya maju pesat di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat. Upaya memperluas perkebunan sawit diarahkan di Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua.
Perusahaan kehutanan milik negara di Indonesia juga makin banyak terlibat dalam bisnis perkebunan .Pada tahun 1998 Departemen Kehutanan secara resmi mengijinkan Kelompok Usahainhutani I-V mengubah 30 persen luas kawasan HPH-nya menjadi perkebunan, termasuk kelapa sawit. Alasan utamanya adalah pohon tanaman perkebunan tidak seperti kayu merupakan investasi jangka pendek dan dapat diharapkan meningkatkan arus uang tunai.
Biaya produksi yang cukup murah dalam menanam sawit dan berproduksi hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan tanaman perkebunan lainnya menjadi alasan mengapa sawit dipilih untuk dikembangkan. Saat ini Indonesia tercatat sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia menggeser Malaysia
Hutan merupakan salah satu komponen penting untuk lingkungan. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu di Indonesia, pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Pembukaan hutan , apalagi dengan cara pembakaran, dalam skala besar merupakan salah satu sebab degradasi hutan dan terbukti menimbulkan kerusakan dan kerugian baik pada aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial, dan dapat dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi ekosistem kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati, dan juga bagi kesehatan manusia.
Kerusakan hutan akibat pembukaan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1oC akan lebih panas menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat terjadi.
Berbagai pencemaran udara yang ditimbulkan akibat pembukaan hutan dengan cara membakar hutan, misalnya : debu dengan ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain yang merupakan partikulat pencemar udara, dan apabila senyawa-senyawa tersebut bereaksi dengan air (H2O), maka akan menjadi sumber pencemar tanah dan air.
Pembukaan hutan dengan cara menebang, berkontribusi terhadap deforestasi dan dengan ekstensi pemanasan global, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Dampak pembukaan hutan dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka. Kemampuan tegakan (pohon) pada saat masih hidup dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya tegakan yang tersisa karena adanya penebangan liar. Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan telah berubah peruntukanya yang berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga kelestariannya menjadi tidak berfungsi lagi.
Keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari investasi perkebunan sawit tidak setimpal jika dibandingkan dengan kerugianyang diakibatkannya. selain menggerus luasan hutan alam yang selama ini menjadi penyangga ekosistim alam dan iklim secara global, perkebunan sawit juga mengancam katahanan pangan bangsa ini. ditengah upaya keras bangsa ini untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, sejumlah areal pertanian tanaman pangan mengalami kerusakan serius akibat dari kehancuran ekosistim hutan, bahkan sejumlah areal produksi tanaman pangan dikonversi menjadi areal perkebunan sawit.
Selain kerusakan lingkungan, investasi perkebunan kelapa sawit juga mengancam keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya . Secara umum diskriminasi terhadap masyarakat adat sangat jamak terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan hutan di Indonesia. Seringkali hutan lindung, hutan konservasi dan kawasan tambang ditetapkan oleh pemerintah sendiri tanpa melibatkan komunitas masyarakat adat. Padahal, masyarakat adat telah menempati, memanfaatkan, dan bergantung pada hutan serta sumber daya alam tersebut sejak dahulu kala.