Tuesday 22 November 2011

Beberapa Konsep Mengenai Demokrasi

Kita mengenai bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, Demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).



Sesudah Perang Dunia II kita melihat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu peneiitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka: "Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh (Probably for the first time in history democracy is claimed as the proper ideal description of all systems of political and social organizations advocated by in¬fluential proponents)!" ( Benn dan r.s. peters 1964 : 393)
Akan tetapi UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap ambiguous atau mempunyai berbagai pengertian, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan mengenai: "Lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historis yang memengaruhi istilah, ide, dan praktik demokrasi (either in the institutions or devices employed to effect the idea or in the cultural or historical circumstances by which word, idea and practice are conditioned) Tetapi di antara sekian banyak aliran pikiran yang dinamakan demokrasi ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok aliran yang menamakan dirinya demokrasi, tetapi yang pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme. Kedua kelompok JII aliran demokrasi mula-mula berasal dari Eropa, tetapi sesudah Perang II nampaknya juga didukung oleh beberapa negara baru di Asia. India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia mencita-citakan demokrasi konstitusional, sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan maupun gaya hidup daiam negara-negara tersebut. Di lain pihak ada negara-negara baru di Asia yang mendasarkan diri atas asas-asas komunisme, yaitu China, Korea Utara, dan sebagainya.
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang belum diamandemen. Selain itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu, dan yang dicantumkan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat). Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar­kan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2. Sistem Konstitusional.
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan dua istilah Rechtsstaat dan sistem konstitusi, maka jeiaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 yang belum diamandemen ialah demokrasi konstitusional. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Sesudah tertumpasnya G 30 S/PKI pada tahun 1965 sudah terang bah­wa yang kita cita-citakan itu adalah demokrasi konstitusional, tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam masa Demokrasi Terpimpin kita sedikit banyak telah terpengaruh oleh beberapa konsep komunis berkat kelihaian PKI untuk menyusupkan konsep-konsep dari alam pikiran komunisme ke dalam kehi-dupan politik kita pada masa pra-G 30 S/PKI. Maka dari itu perlu kiranya kita menjernihkan pikiran kita sendiri dan meneropong dua aliran pikiran utama yang sangat berbeda, bahkan sering bertentangan serta berkonfrontasi satu sama lain, yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi yang berdasarkan Marxisme-Leninisme. Perbedaan fundamental ialah bahwa demokrasi konstitusional mencita-citakan pemerintah yang terbatas kekuasaannya, suatu Negara Hukum (Rechsstaat) yang tunduk kepada Rule of Law. Sebaliknya, demokrasi yang mendasarkan dirinya atas komunisme mencita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaannya (machsstaat), dan yang bersifat totaliter.

♦ Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengaiami pasang surut. Selama 25 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik di mana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator, apakah diktator ini bersifat perorangan, partai, ataupun militer.
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dapat di bagi dalam empat masa, yaitu:
a. Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional)  yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer.
b. Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan
beberapa aspek demokrasi rakyat.
Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila
yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem
presidensial.
Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang), yaitu masa Reformasi
yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi
terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik
Indonesia III.

Masa Republik Indonesia i (1945-1959): Masa Demokrasi Konstitusional
Sistem parlementeryang mulai berlaku sebuian sesudah kemerdekaan dipro-« klamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain. Persatuan yang dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan terca-pai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peiuang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parle­menter di mana badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional {constitutional head) dan menteri-menterinya mempu-nyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewak-tu-waktu, sehingga kabinet sering kali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan kesan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai per-masalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang" menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi.
Umumnya kabinet dalam masa pra pemilihan umum yang diadakan pa-da tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pun pemilihan umum tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusatdan beberapa daerah.
Di samping itu ternyata ada beberapa kekuataan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai rubberstamp (presiden yang membubuhi capnya belaka) dan suatu tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang di-hadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlerrienter berakhir.

Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untukmencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No. 111/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-Undang Dasar memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar.
Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahaltialam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat de­mikian.
 Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi kontrol ditiadakan. Bahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden, di sampihg fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin Trias Politika. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif untuk campur tangan di bidang lain selain bidang eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964, dan di bidang legislatif berdasarkan Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat.
Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana pelbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ekstra konstitusionai seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai dengan taktik Komunisme Internasiona! yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan, dan dibreidel, sedangkan politik mercu suar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan mem-buka peluang untuk dimulainya masa demokrasi Pancasila.

Masa Republik Indonesia 111 (1965-1998): Masa Demokrasi J Pancasila
Landasan formal dari periode ini ialah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang telah ter Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan integrasi nasional telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyolitas pegawai negeri sipil (PNS). Semula prinsip itu diperlukan untuk melindungi Orde Baru dari gangguan-gangguan yang mungkin timbul dari musuh-musuh Orde Baru dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar dalam setiap pemilihan umum (pemilu). Kemudian setelah Orde Baru menjadi lebih kuat, ternyata prinsip monoloyalitas tersebut masih tetap digunakan untuk mencegah partai politik lain keluar sebagai pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan Orde Baru dapat terus berkuasa.
Masa Republik Indonesia III menunjukkan keberhasilan dalam penye-lenggaraan pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari awal, Orde Baru memang menginginkan adanya pemilu. Ini terlihat dari di-keluarkannya Undang-undang (UU) Pemilu pada tahun 1969, hanya setahun setelah Presiden Soeharto diiantik sebagai presiden oleh MPRS pada tahun 1968 atau dua tahun setelah ia diiantik sebagai Pejabat Presiden pada tahun 1967. Ha! ini sesuai dengan slogan Orde Baru pada masa awalnya, yakni Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemiiu tersebut karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Selaelum fusi partai politik tahun 1973, semua OPP, kecuali Golkar, menghadapi berbagai kendala dalam menarik dukungan dari para pemilih, antara lain karena adanya asas monoloyalitas yang sudah di-sebutkan sebelumnya.
Setelah fusi 1973 yang menghasilkan dua partai politik di samping Golkar, tidak ada perubahan dalam pemilu karena Golkar tetap dapat dipastikan memenangkan setiap pemilu. Hal ini disebabkan karena OPP ini mendapatkan dukungan dan fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai lainnya, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai, Demokrasi Indonesia (PDI) menghadapi banyak kendala dalam memperoleh dukungan dari para pemilih. Terlepas dari semua itu, pelaksanaan pemilu sebanyak 6 kali tersebut telah memberikan pendidikan politik yang penting bagi rakyat Indonesia sehingga rakyat telah terbiasa memberikan suara dan menentukan pilihan dalam pemilu.
Keberhasilan pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangun-an ekonomi pada masa-masa seteiah itu ternyata tidak diikuti dengan ke-rnampuan untuk memberantas korupsi. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan keberhasilan pembangunan eko­nomi.
Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai pe-luang untuk melakukan KKN yang dilakukan oieh para anggota keluarga dan kroni para penguasa, baik di pusat maupun di daerah.
Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto telah membuat presiden menjadi penguasa mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyele-wengan kekuasaan (abuse of power). Menjelang berakhirnya Orde Baru, elite politik semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan merugi-kan negara dan rakyat banyak.
Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnya kelompok-kebmpok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru. Yang menjadi peiopor pa­ra penentang ini adalah para mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan pada buian Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangnya Orde Baru. Kekuatan mahasiswa yang besaryang menyebabkan sulitnya me-reka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya dukungan para maha­siswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia terhadap gerakan tersebut berhasil memaksa elite politik untuk berubah sikap terhadap Presiden Soeharto.
 Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden turun. Kemudian 14 orang menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat per-kembangan politik seperti ini, Presiden Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan yang besar dari rakyat dan orang-orang dekatnya sendiri, sehingga ia kemudian memutuskan untuk mundur sebagai Presiden Rl pada tanggal 20 Mei 1998. Mundurnya Soeharto dari kursi presiden menjadi pertanda dari berakhirnya masa Republik Indonesia III yang disusul oleh munculnya Republik Indonesia IV.

Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi
Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedauiatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Presiden Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. UU politik yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRDyang baru disahkan pada awal 1999. UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik sebelumnya sehingga Pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia internasionai. Pada masa pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang tidak kaiah pentingnya, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI (sekarang TNI atau Tentara Nasional Indonesia) dihilangkan. Fungsi per-tahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak reformasi internal TNI tersebut.
Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 dalam empattahap selama empattahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan pe­merintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif di-perkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil pesiden secara iangsung (pilpres). Pilpres pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif.
Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk me milih kepala daerah secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui pilkada mulai pertengahan 2005. Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannya hams dipilih melalui pilkada. Pilkada bertujuan untuk menjadikan pemerintah daerah lebih dernokratis dengan diberikan hak bagi rakyat untuk menentukan kepala daerah. Hal ini tentu saja berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang bersifat tidak langsung karena dipilih oleh DPRD.
Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan tonggak sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya presiden dan wakil presiden yang didahului oleh terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan DPRD telah menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang dernokratis karena nilai-nilai demokrasi yang penting telah diterapkan melalui pelaksanaan peraturan perundangan mulai dari UUD 1945. Memang benar bahwa demokratisasi adalah proses tanpa akhir karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi, demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang.