Kita mengenai bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, Demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).
Sesudah
Perang Dunia II kita melihat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan
dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu peneiitian yang diselenggarakan
oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka: "Mungkin untuk pertama kali dalam
sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk
semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh
pendukung-pendukung yang berpengaruh (Probably for the first time in history
democracy is claimed as the proper ideal description of all systems of
political and social organizations advocated by in¬fluential proponents)!"
( Benn dan r.s. peters 1964 : 393)
Akan tetapi
UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap ambiguous atau
mempunyai berbagai pengertian, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau
ketaktentuan mengenai: "Lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk
melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historis yang
memengaruhi istilah, ide, dan praktik demokrasi (either in the institutions or
devices employed to effect the idea or in the cultural or historical
circumstances by which word, idea and practice are conditioned) Tetapi di
antara sekian banyak aliran pikiran yang dinamakan demokrasi ada dua kelompok
aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok
aliran yang menamakan dirinya demokrasi, tetapi yang pada hakikatnya
mendasarkan dirinya atas komunisme. Kedua kelompok JII aliran demokrasi
mula-mula berasal dari Eropa, tetapi sesudah Perang II nampaknya juga didukung
oleh beberapa negara baru di Asia. India, Pakistan,
Filipina, dan Indonesia
mencita-citakan demokrasi konstitusional, sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk
pemerintahan maupun gaya
hidup daiam negara-negara tersebut. Di lain pihak ada negara-negara baru di
Asia yang mendasarkan diri atas asas-asas komunisme, yaitu China, Korea
Utara, dan sebagainya.
Demokrasi
yang dianut di Indonesia,
yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan
mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran serta
pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok
dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar
1945 yang belum diamandemen. Selain itu Undang-Undang Dasar kita menyebut
secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu, dan yang dicantumkan
dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara yaitu:
1. Indonesia ialah
negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat). Negara Indonesia
berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan
belaka (Machtsstaat).
2. Sistem Konstitusional.
Pemerintahan berdasarkan
atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan
yang tidak terbatas).
Berdasarkan
dua istilah Rechtsstaat dan sistem konstitusi, maka jeiaslah bahwa
demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 yang belum
diamandemen ialah demokrasi konstitusional. Di samping itu corak khas demokrasi
Indonesia,
yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Sesudah
tertumpasnya G 30 S/PKI pada tahun 1965 sudah terang bahwa yang kita
cita-citakan itu adalah demokrasi konstitusional, tetapi tidak dapat disangkal
bahwa dalam masa Demokrasi Terpimpin kita sedikit banyak telah terpengaruh oleh
beberapa konsep komunis berkat kelihaian PKI untuk menyusupkan konsep-konsep
dari alam pikiran komunisme ke dalam kehi-dupan politik kita pada masa pra-G 30
S/PKI. Maka dari itu perlu kiranya kita menjernihkan pikiran kita sendiri dan
meneropong dua aliran pikiran utama yang sangat berbeda, bahkan sering
bertentangan serta berkonfrontasi satu sama lain, yaitu demokrasi
konstitusional dan demokrasi yang berdasarkan Marxisme-Leninisme. Perbedaan
fundamental ialah bahwa demokrasi konstitusional mencita-citakan pemerintah
yang terbatas kekuasaannya, suatu Negara Hukum (Rechsstaat) yang tunduk
kepada Rule of Law. Sebaliknya, demokrasi yang mendasarkan dirinya atas
komunisme mencita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaannya (machsstaat),
dan yang bersifat totaliter.
♦ Indonesia
Perkembangan
demokrasi di Indonesia
telah mengaiami pasang surut. Selama 25 tahun berdirinya Republik Indonesia
ternyata masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang
beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di
samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada
pokoknya masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik di mana
kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation
building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya
diktator, apakah diktator ini bersifat perorangan, partai, ataupun militer.
Dipandang
dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dapat di bagi dalam empat
masa, yaitu:
a. Masa Republik Indonesia I
(1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan
peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan
Demokrasi Parlementer.
b. Masa Republik
Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak
aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal
merupakan landasannya, dan menunjukkan
beberapa aspek demokrasi
rakyat.
Masa Republik Indonesia
III (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila
yang merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan sistem
presidensial.
Masa Republik Indonesia
IV (1998-sekarang), yaitu masa Reformasi
yang menginginkan
tegaknya demokrasi di Indonesia
sebagai koreksi
terhadap praktik-praktik
politik yang terjadi pada masa Republik
Indonesia III.
Masa Republik Indonesia i
(1945-1959): Masa Demokrasi Konstitusional
Sistem
parlementeryang mulai berlaku sebuian sesudah kemerdekaan dipro-« klamirkan dan
kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang
cocok untuk Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa
negara Asia lain. Persatuan yang dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh
bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan
konstruktif sesudah kemerdekaan terca-pai. Karena lemahnya benih-benih
demokrasi sistem parlementer memberi peiuang untuk dominasi partai-partai
politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang
Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer di mana badan eksekutif
yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional {constitutional
head) dan menteri-menterinya mempu-nyai tanggung jawab politik. Karena
fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang
berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisi
ternyata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk
menarik dukungannya sewak-tu-waktu, sehingga kabinet sering kali jatuh karena
keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan kesan bahwa
partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab
mengenai per-masalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan
oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang"
menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif
dari tugas oposisi.
Umumnya
kabinet dalam masa pra pemilihan umum yang diadakan pa-da tahun 1955 tidak
dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat
perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat
kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pun pemilihan umum tahun 1955 tidak
membawa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan
yang paling gawat antara pemerintah pusatdan beberapa daerah.
Di samping
itu ternyata ada beberapa kekuataan sosial dan politik yang tidak memperoleh
saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan
kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak
sebagai rubberstamp (presiden yang membubuhi capnya belaka) dan suatu
tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut
menyelesaikan persoalan-persoalan yang di-hadapi oleh masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Faktor-faktor
semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota partai-partai yang
tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara
untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem
parlerrienter berakhir.
♦ Masa Republik Indonesia II
(1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri
periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik,
berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur
sosial-politik. Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha
untukmencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi
seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No.
111/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah
membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-Undang Dasar memungkinkan
seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang
Dasar.
Selain itu,
banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng terhadap
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno
sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum,
padahaltialam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan
bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan
rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi
kontrol ditiadakan. Bahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri
dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden, di
sampihg fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah
ditinggalkannya doktrin Trias Politika. Dalam rangka ini harus pula
dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai
badan eksekutif untuk campur tangan di bidang lain selain bidang eksekutif.
Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif
berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964, dan di bidang legislatif berdasarkan
Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak
mencapai mufakat.
Selain itu terjadi
penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana pelbagai tindakan pemerintah
dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai
sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ekstra konstitusionai seperti
Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan,
sesuai dengan taktik Komunisme Internasiona! yang menggariskan pembentukan
front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai
politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak
dibenarkan, dan dibreidel, sedangkan politik mercu suar di bidang hubungan luar
negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi
bertambah suram. G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan mem-buka peluang
untuk dimulainya masa demokrasi Pancasila.
♦ Masa Republik Indonesia 111
(1965-1998): Masa Demokrasi J Pancasila
Landasan
formal dari periode ini ialah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta
Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan
terhadap Undang-Undang Dasar yang telah ter Perlunya menjaga kestabilan
politik, pembangunan nasional, dan integrasi nasional telah digunakan
sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan
politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip
monoloyolitas pegawai negeri sipil (PNS). Semula prinsip itu diperlukan untuk
melindungi Orde Baru dari gangguan-gangguan yang mungkin timbul dari
musuh-musuh Orde Baru dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar dalam
setiap pemilihan umum (pemilu). Kemudian setelah Orde Baru menjadi lebih kuat,
ternyata prinsip monoloyalitas tersebut masih tetap digunakan untuk mencegah
partai politik lain keluar sebagai pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan
Orde Baru dapat terus berkuasa.
Masa
Republik Indonesia III menunjukkan keberhasilan dalam penye-lenggaraan pemilu.
Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode
tersebut berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari awal, Orde Baru memang menginginkan
adanya pemilu. Ini terlihat dari di-keluarkannya Undang-undang (UU) Pemilu pada
tahun 1969, hanya setahun setelah Presiden Soeharto diiantik sebagai presiden
oleh MPRS pada tahun 1968 atau dua tahun setelah ia diiantik sebagai Pejabat
Presiden pada tahun 1967. Ha! ini sesuai dengan slogan Orde Baru pada masa
awalnya, yakni Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Namun
ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemiiu tersebut
karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan
yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu.
Selaelum fusi partai politik tahun 1973, semua OPP, kecuali Golkar, menghadapi
berbagai kendala dalam menarik dukungan dari para pemilih, antara lain karena
adanya asas monoloyalitas yang sudah di-sebutkan sebelumnya.
Setelah
fusi 1973 yang menghasilkan dua partai politik di samping Golkar, tidak ada
perubahan dalam pemilu karena Golkar tetap dapat dipastikan memenangkan setiap
pemilu. Hal ini disebabkan karena OPP ini mendapatkan dukungan dan fasilitas
dari pemerintah sedangkan dua partai lainnya, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai, Demokrasi Indonesia (PDI) menghadapi banyak
kendala dalam memperoleh dukungan dari para pemilih. Terlepas dari semua itu,
pelaksanaan pemilu sebanyak 6 kali tersebut telah memberikan pendidikan politik
yang penting bagi rakyat Indonesia
sehingga rakyat telah terbiasa memberikan suara dan menentukan pilihan dalam
pemilu.
Keberhasilan
pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada beras pada
pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangun-an ekonomi pada masa-masa seteiah
itu ternyata tidak diikuti dengan ke-rnampuan untuk memberantas korupsi.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan
keberhasilan pembangunan ekonomi.
Keberhasilan
pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai pe-luang untuk melakukan KKN yang
dilakukan oieh para anggota keluarga dan kroni para penguasa, baik di pusat
maupun di daerah.
Di bidang politik,
dominasi Presiden Soeharto telah membuat presiden menjadi penguasa mutlak
karena tidak ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas
presiden dan mencegahnya melakukan penyele-wengan kekuasaan (abuse of
power). Menjelang berakhirnya Orde Baru, elite politik semakin tidak peduli
dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan para kroni dan merugi-kan negara dan rakyat banyak.
Akibat dari
semua ini adalah semakin menguatnya kelompok-kebmpok yang menentang Presiden
Soeharto dan Orde Baru. Yang menjadi peiopor para penentang ini adalah para
mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR
di Senayan pada buian Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden
Soeharto dan tumbangnya Orde Baru. Kekuatan mahasiswa yang besaryang
menyebabkan sulitnya me-reka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya
dukungan para mahasiswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia
terhadap gerakan tersebut berhasil memaksa elite politik untuk berubah sikap
terhadap Presiden Soeharto.
Pimpinan
DPR secara terbuka meminta presiden turun. Kemudian 14 orang menteri Kabinet
Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang
akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntutan
mahasiswa. Melihat per-kembangan politik seperti ini, Presiden Soeharto merasa
yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan yang besar dari rakyat dan orang-orang
dekatnya sendiri, sehingga ia kemudian memutuskan untuk mundur sebagai Presiden
Rl pada tanggal 20 Mei 1998. Mundurnya Soeharto dari kursi presiden menjadi
pertanda dari berakhirnya masa Republik Indonesia III yang disusul oleh
munculnya Republik Indonesia IV.
Masa Republik Indonesia IV
(1998-sekarang): Masa Reformasi
Tumbangnya
Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia.
Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran
terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh
karena itu bangsa Indonesia
bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses
pendemokrasian sistem politik Indonesia
sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedauiatan rakyat dapat ditegakkan, dan
pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat
(DPR).
Presiden
Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto
dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai langkah-langkah demokratisasi
dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan pemerintahan
Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting
dalam demokratisasi. UU politik yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, dan
UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRDyang baru disahkan pada awal 1999.
UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik sebelumnya
sehingga Pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia
internasionai. Pada masa pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang
tidak kaiah pentingnya, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi
sosial-politik ABRI (sekarang TNI atau Tentara Nasional Indonesia) dihilangkan.
Fungsi per-tahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak
reformasi internal TNI tersebut.
Langkah
terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945
yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 dalam empattahap selama empattahun
(1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD
1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga
legislatif di-perkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan
terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan
yang semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk
memilih presiden dan wakil pesiden secara iangsung (pilpres). Pilpres pertama
dilakukan pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif.
Langkah
demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk me milih kepala daerah secara
langsung (pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. UU ini mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia
dipilih melalui pilkada mulai pertengahan 2005. Semenjak itu, semua kepala
daerah yang telah habis masa jabatannya hams dipilih melalui pilkada. Pilkada
bertujuan untuk menjadikan pemerintah daerah lebih dernokratis dengan diberikan
hak bagi rakyat untuk menentukan kepala daerah. Hal ini tentu saja berbeda
dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang bersifat tidak langsung karena
dipilih oleh DPRD.
Pelaksanaan
pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan tonggak
sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena
terpilihnya presiden dan wakil presiden yang didahului oleh terpilihnya
anggota-anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan DPRD telah menuntaskan
demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di Indonesia. Dapat dikatakan
bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang
dernokratis karena nilai-nilai demokrasi yang penting telah diterapkan melalui
pelaksanaan peraturan perundangan mulai dari UUD 1945. Memang benar bahwa
demokratisasi adalah proses tanpa akhir karena demokrasi adalah sebuah kondisi
yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Namun dengan adanya
perubahan-perubahan tadi, demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar
yang kuat untuk berkembang.