Friday 11 November 2011

Perkembangan Iklim Investasi di Indonesia

Investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi tersebut, investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karenanya, dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Begitu pula Indonesia. KONDISI PERKEMBANGAN ARUS INVESTASI DI INDONESIA Meskipun setelah krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia sudah kembali menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun hingga saat ini pertumbuhan rata-ratanya per tahun relatif masih lambat dibandingkan negara-negara tetangga yang juga terkena krisis seperti Korea Selatan dan Thailand. Perkembangan realisasi investasi di Indonesia sejak munculnya krisis politik pada pertengahan tahun 1997 dan kemudian menjadi krisis ekonomi berkepanjangan sampai saat ini, serta masalah faktor lain seperti masalah teroris, birokrasi pemerintahan, korupsi dan lain-lain membawa dampak yang tidak menggembirakan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia. Indikator akibat hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan antara rencana investasi yang telah disetujui sejak tahun 1997 dengan realisasi dari tahun ke tahun sampai dengan Oktober 2007. Pada tahun 2005 realisasi PMA naik menjadi 66% dari komitment yang telah disetujui pada tahun yang bersangkutan, dan pada tahun 2006 dan 2007 realisasi PMA tersebut dilihat dari komitmen PMA yang telah disepakati mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu hanya sebesar 38% dan 27% dari total komitmen PMA. Dapat disimpulkan rendahnya realisasi PMA yang dimaksud dibandingkan dengan komitment investasi modal asing yang telah disepakati, disebabkan terutama oleh faktor keamanan berusaha yang tidak kunjung dapat dijamin oleh pemerintah (risk country yang cukup tinggi). Indikator penyebabnya dapat diduga terutama karena faktor risk country yang cukup tinggi, seperti adanya peledakan bom secara sporadis di berbagai kota di Indonesia sejak tahun 2000. Kemudian peledakan secara sporadis tadi disusul dengan peledakan bom di Bali pada Oktober 2005 yang terkenal dengan bom Bali I dan II, yang merupakan ancaman baik tingkat nasional, regional dan maupun global. Dikatakan ancaman global karena pasca bom Bali tersebut sejumlah negara telah memperlakukan “travel bon”, yaitu suatu pelerangan kepada warga negaranya untuk tidak berkkunjung ke Indonesia. Keadaan tersebut ditambah lagi dengan birokrasi pemerintahan yang menyebabkan perusahaan-perusahaan tidak dapat berusaha secar efisien ekonomis, korupsi, tidak adanya kepastian hukum, dan gejolak sosial di masyarakat sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Gambar 1 menunjukkan bahwa setelah krisis 1998 jumlah proyek baru PMA, paling tidak berdasarkan data persetujuan dari BKPM, sempat mengalami peningkatan. Namun setelah tahun 2000, jumlahnya menurun dan cenderung akan berkurang terus. Satu hal yang menarik dari data BKPM tersebut adalah bahwa sejak krisis, jumlah proyek baru PMA rata-rata per tahunnya lebih besar daripada jumlah proyek baru PMDN.(penanaman modal dalam negeri). Ini menandakan bahwa bagi perkembangan investasi langsung/jangka panjang di dalam negeri, khususnya dalam periode pasca krisis, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN. Namun demikian, dilihat dari nilai netonya (arus investasi masuk – arus keluar), gambarannya setelah krisis lebih memprihatinkan; walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif (Tabel 1). Lebih banyaknya arus PMA keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim investasi di Indonesia. Terutama perusahaan-perusahaan asing di industri-industri yang sifat produksinya footloose seperti eletronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dll yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam atau bahan baku lokal di Indonesia akan dengan mudah pindah ke negara-negara tetangga jika melakukan produksi di dalam negri sudah tidak lagi menguntungkan. Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain. Misalnya dalam kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak krisis ekonomi 1998; walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000. Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada periode 1998-1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk enanamkan modal mereka di Indonesia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin, di sisi lain (Stern, 2002). Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India, sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 80-an dan 90-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) meningkat hampir 200 persen. TANTANGAN Memenangkan persaingan dengan negara-negara tetangga dalam menarik PMA merupakan suatu tantangan besar bagi Indonesia saat ini. Tantangan terutama sangat berat untuk menarik atau mempertahankan PMA yang sudah beroperasi di Indonesia di industri-industri footloose seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Mungkin untuk menarik PMA di sektor pertambangan, Indonesia tidak perlu terlalu kuatir, karena bagaimanapun juga suatu perusahaan asing yang sangat tergantung pada bahan baku yang hanya dimiliki oleh sejumlah kecil negara di dunia, termasuk Indonesia seperti misalnya migas, batu bara dan emas, harus beroperasi di Indonesia. Laporan dari UNCTAD (2004) menyajikan peringkat sepuluh (10) besar negara-negara penerima PMA di Asia dan Pasifik. China (termasuk Hong Kong) merupakan negara penerima terbesar, yang mencerminkan daya saing investasi dari negara tersebut paling tinggi di kawasan tersebut. Banyak faktor yang membuat negara Panda tersebut sangat menarik untuk investasi, diantarnya stabilitas politik dan sosial, kebijakan ekonominya yang sangat mendukung kegiatan bisnis, kondisi tenaga kerja baik dalam keterampilan maupun keuletan bekerja yang jauh lebih baik dibandingkan di Indonesia, dan kondisi infrastruktur yang baik. Lebih spesifik lagi, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah kemampuannya menghilangkan semua permasalahan yang disebut di atas dalam waktu sesingkat-singkatnya. Waktu sangat penting saat ini karena perubahan-perubahan global yang semakin cepat dibandingkan dengan, bilang 20 tahun yang lalu, terutama dalam eknologi, sistem keuangan, pola perdagangan baik pada tingkat regional (regionalism) maupun pada tingkat dunia, dan selera masyarakat dunia sebagai konsekuensi dari peningkatan pendapatan dunia per kapita. Perubahan-perubahan ini membuat pola produksi yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional berubah terus, dan ini selanjutnya mempengaruhi pemilihan lokasi usaha. Belakangan ini peristiwa-peristiwa seperti kasus Free Port yang mencapai klimaknya dengan kasus pemberian visa sementara oleh pemerintah Australia bagi sejumlah warga Papua, ditambah lagi dengan banhyaknya permasalahan yang hingga saat ini belum tuntas seperti revisi undang-undang perburuhan dan undangt-undang investasi, serta infrastruktur yang semakin buruk kondisinya (seperti jalan Pantura) semakin mempersulit Indonesia dalam menghadapi tantangan tersebut di atas. Bisa dipastikan, jika Indonesia tidak mampu menghadapi tantangan ini, konsukwensinya sangat besar, mulai dari hilangnya kesempatan kerja, devisa (jika perusahaan bersangkutan melakukan ekspor) dan transfer teknologi. Yang pertama tentu akan berakibat pada lambatnya penurunan kemiskinan; yang kedua akan berakibat pada semakin besarnya kebutuhan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri yang selanjutnya mengancam Indonesia terjerumus ke krisis utang luar negeri; dan yang terakhir akan berakibat pada tertinggalnya Indonesia dalam pembangunan sektor industri baik dari sisi kualitas maupun dari sisi daya saing karena lemahnya kemampuan teknologi di dalam negeri. POTENSI Potensi Indonesia bagi investasi sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran (produksi) maupun sisi permintaan. Dari sisi penawaran, harus dibedahkan antara potensi jangka pendek dan potensi jangka panjang. Potensi jangka pendek yang masih dapat diandalkan oleh Indonesia tentu adalah masih tersedianya banyak sumber daya alam (SDA), termasuk komoditas-komoditas pertambangan dan pertanian, dan jumlah tenaga kerja yang besar. Sedangkan potensi jangka panjang adalah pengembangan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak mampu mengembangkan teknologi dan meningkatkan kualitas SDM-nya; namun ini sangat tergantung pada kemauan sungguh-sungguh dari negara tersebut. Jika potensi jangka panjang ini tidak dapat direalisasikan, dan berbagai permasalahan seperti yang telah disebut di atas juga tidak tuntas, maka lambat laun potensi jangka pendek akan hilang. Misalnya, salah satu permasalahan tenaga kerja di Indonesia adalah kualitas serta etos kerja yang rendah. Dari sisi permintaan, ada dua faktor utama yakni jumlah penduduk (dan strukturnya menurut umur) dan pendapatan riil per kapita. Kedua faktor ini secara bersama menentukan besarnya potensi pasar, yang berarti juga besarnya potensi keuntungan bagi seorang investor. Dari segi jumlah penduduk, tentu Indonesia, seperti halnya China dan India, merupakan potensi pasar yang sangat besar. Saat ini Indonesia masih dalam proses pemulihan, yang ditandai dengan semakin tingginya pertumbuhan PDB yang kembali positif sejak 1999 walaupun dengan laju yang relatif lambat. Dengan pendapatan yang cenderung meningkat, yang berarti potensi pasar di dalam negeri cenderung meningkat, maka dari sisi permintaan potensi Indonesia untuk investasi sangat baik. Jika laju pertumbuhan pendapatan per kapita di Indonesia tetap rendah, atau jauh lebih rendah dibandingkan di China yang dalam 10 tahun belakangan ini mencapai rata-rata 9% per tahun, maka potensi pasar di Indonesia secara relatif akan mengecil. Hal ini tentu menjadi salah satu pertimbangan penting bagi seorang investor asing. Bagi sebuah perusahaan fast food dari Jepang, China akan menjadi pilihan utama sebagai lokasi untuk mendirikan cabangnya jika pendapatan per kapita di China dengan penduduk lebih dari 1 miliar orang, dan hobinya sama seperti orang Indonesia suka makan, tumbuh jauh lebih pesat daripada di Indonesia yang penduduknya hanya 225 juta orang.